Dokter Baik

Hidup Sehat Bersama Dokter

Info Kesehatan

3 Penyebab Kematian Ibu Pasca Persalinan

3 Penyebab Kematian Ibu Pasca Persalinan

3 Penyebab Kematian Ibu Pasca Persalinan

Masa nifas dimulai sejak satu jam setelah keluarnya plasenta hingga 42 hari (6 minggu) setelahnya. Ini adalah periode transisi kritis bagi ibu dan bayi yang baru lahir, dengan perubahan yang signifikan baik secara fisik, emosional, maupun sosial. Masa ini seringkali kurang mendapat perhatian, meski menjadi waktu di mana risiko kesehatan bagi ibu dan bayi justru paling tinggi. Periode ini memerlukan perhatian penuh dari keluarga untuk mendukung kesehatan ibu dan bayi.

Baca juga: Jarak Melahirkan Yang Pendek Meningkatkan Risiko Autisme

Pentingnya Dukungan pada Masa Nifas

Bagi ibu yang baru pertama kali melahirkan, masa nifas menjadi tantangan tersendiri. Emosi yang naik turun, perubahan fisik yang drastis, dan adaptasi terhadap peran baru sebagai ibu menjadi bagian dari proses. Banyak keluarga yang fokus memberikan perhatian selama masa kehamilan dan persalinan, tetapi seringkali lalai setelah kelahiran, padahal masa nifas merupakan saat yang kritis dan berisiko tinggi.

Berikut adalah tiga penyebab utama kematian ibu pasca persalinan yang harus diwaspadai:

1. Perdarahan Pasca Persalinan

Perdarahan adalah penyebab utama kematian ibu pasca persalinan. Menurut data global, perdarahan pasca persalinan menyebabkan sekitar 150.000 kematian setiap tahun. Sebagian besar perdarahan terjadi dalam empat jam pertama setelah melahirkan, sehingga ibu yang baru bersalin memerlukan pengawasan ketat selama masa ini.

Perdarahan terjadi lebih parah pada ibu dengan anemia selama kehamilan. Dalam situasi ini, ibu tidak mampu menghadapi kehilangan darah yang tinggi. Jika perdarahan terus terjadi, transfusi darah bisa menjadi satu-satunya solusi untuk menyelamatkan nyawa ibu.

Beberapa penyebab perdarahan pasca persalinan meliputi:

  • Atonia Uteri: Rahim yang tidak berkontraksi dengan baik setelah melahirkan.
  • Retensio Plasenta: Bagian plasenta yang tertinggal di rahim, baik sebagian maupun seluruhnya.
  • Laserasi Jalan Lahir: Perlukaan atau robekan pada serviks atau vagina selama persalinan.
  • Ruptura Uteri: Robekan pada rahim.
  • Inversi Uteri: Rahim yang berbalik arah, kondisi ini jarang terjadi namun berpotensi menyebabkan perdarahan hebat.

Selama 2-6 jam pertama setelah melahirkan, tenaga medis akan memastikan kontraksi rahim berjalan baik dan kandung kemih ibu dikosongkan agar tidak menghambat proses kontraksi. Apabila plasenta masih tertinggal setelah satu jam, dokter atau bidan akan melakukan prosedur manual untuk mengeluarkannya, demi mencegah perdarahan lebih lanjut.

2. Infeksi Nifas (Sepsis)

Infeksi pasca persalinan, atau sepsis, menjadi penyebab kematian ibu yang signifikan di negara berkembang. Tanda paling umum adalah demam, dengan suhu tubuh mencapai lebih dari 38°C. Infeksi pada masa nifas biasanya terjadi akibat bakteri seperti Escherichia coli, Streptococci, dan bakteri anaerob lainnya.

Faktor pemicu infeksi pasca persalinan antara lain:

  • Persalinan Macet: Proses persalinan yang tidak berjalan lancar.
  • Ketuban Pecah Dini: Ketuban pecah lebih awal, meningkatkan risiko infeksi.
  • Pemeriksaan Dalam Terlalu Sering: Pemeriksaan yang berlebihan di area genital saat persalinan.
  • Pemantauan Janin Melalui Jalur Lahir: Pemantauan melalui intravaginal, yang dapat menyebabkan kontaminasi.
  • Bedah Sesar: Prosedur ini memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi daripada persalinan normal.

Pada kasus infeksi, antibiotik menjadi langkah utama dalam pengobatan, dengan pencegahan dilakukan melalui proses persalinan yang steril. Di beberapa negara, infeksi pasca persalinan lebih sering terjadi pada ibu yang ditolong oleh dukun bayi daripada oleh tenaga medis terlatih. Salah satu bakteri berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian adalah Streptococcus pyogenes, yang menyebabkan kondisi serius seperti Streptococcal Toxic Shock Syndrome (Strep TSS).

3. Eklampsia

Eklampsia adalah penyebab kematian ibu ketiga yang cukup sering terjadi di seluruh dunia. Kondisi ini ditandai dengan hipertensi dan gejala pre-eklampsia berat, yang dapat muncul bahkan setelah persalinan. Eklampsia dapat menyebabkan kejang dan kondisi fatal jika tidak segera ditangani.

Ibu hamil dengan riwayat pre-eklampsia atau hipertensi memerlukan pemantauan tekanan darah secara rutin, terutama setelah usia kehamilan 20 minggu. Di negara-negara maju, eklampsia diperkirakan terjadi pada 1 dari 2000 persalinan. Dalam beberapa kasus, eklampsia bisa muncul pada hari ketiga setelah melahirkan, meski umumnya kondisi ini sudah terdeteksi sejak masa kehamilan.

Gejala utama eklampsia antara lain:

  • Tekanan darah tinggi.
  • Protein dalam urin (proteinuria).
  • Kejang-kejang.

Perawatan intensif dan pemantauan rutin bagi ibu hamil dengan risiko eklampsia sangat penting untuk mengurangi risiko yang bisa terjadi pada masa nifas.

Pentingnya Kesadaran Keluarga dan Dukungan Medis

Penting bagi keluarga untuk tetap memberikan perhatian pada ibu selama masa nifas. Melalui pemantauan ketat dan dukungan emosional, keluarga bisa membantu ibu menjalani masa ini dengan lebih aman. Selain itu, layanan medis juga harus siap dalam menangani komplikasi yang mungkin muncul pasca persalinan, mengingat risiko yang tinggi pada ibu dan bayi.

dokterbaik

Seorang dokter yang kebetulan suka ngeblog dan berteman

Tinggalkan Balasan