Dokter Baik

Hidup Sehat Bersama Dokter

Opini

Dokter Spesialis SKP

Dokter Spesialis SKP

Dokter Spesialis SKP. Dokter-dokter Indonesia lagi menderita double-burden syndrome. Hari-hari mereka kini terkuras bukan hanya untuk mengurus pasien tetapi juga mengejar SKP. SKP adalah kepanjangan Satuan Kredit Profesi. Ini semacam ukuran poin sekaligus bukti bahwa mereka tetap ikut pendidikan berkelanjutan guna memperbaharui ilmu mereka. Jadi setiap menghadiri seminar ilmiah atau pelatihan mereka akan dapat beberapa poin SKP. Itu penjelasan sederhananya.

Beberapa tahun lalu, yang menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan dengan SKP-nya adalah organisasi profesi. Buat para dokter, IDI yang lakukan. Namun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tiba-tiba mencaplok peran IDI ini.

Lewat UU 17/2023, mereka mengambil semua urusan SKP. Mereka kini yang membuat aturan-aturan SKP, termasuk mewajibkan dokter memperoleh 50 SKP pertahun atau 250 SKP per lima tahun. Kalau tidak tercapai, dokter tidak bisa praktik.

Kemenkes juga punya wewenang menyetujui lembaga yang dapat menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan. Tidak semua lembaga bisa melakukannya. Selain itu, Kemenkes pula yang berwenang menyatakan apakah SKP yang diajukan dokter dapat diterima atau tidak. Artinya, Kemenkes melakoni peran double : sebagai regulator dan eksekutor. Kasarnya, Kemenkes adalah super-body SKP.

Jumlah 50 SKP pertahun ini menimbulkan tanda tanya. Angkanya diambil dari mana? Tampaknya dicomot dari negara luar tanpa mempertimbangkan beban kerja (work-load) dokter Indonesia. Ini jelas tidak tepat. Target SKP tiap profesi mestinya didasarkan oleh parameter work-load profesi. Karena Kemenkes tidak punya data ini, maka mereka langsung saja comot contoh dari negara lain.

Padahal angka ini terlalu tinggi untuk dokter yang melayani pasien banyak. Baru-baru ini seorang dokter bedah tulang kena serangan jantung dan meninggal. Terjadi setelah melakukan 10 operasi dan memeriksa puluhan pasien. Sang dokter sangat overload. Itu tipikal kerja dokter. Jadi ketika mereka dipaksa mengumpulkan banyak SKP, siap-siap saja waktu pelayanan pasien mereka akan berkurang.

Kemenkes berbangga diri bisa mencaplok peran IDI. Merasa menjadi benar-benar sukses to govern.

Sayangnya, dalam perjalanannya, program SKP ini justru menjadi semrawut. Bahkan carut marut.

Banyak dokter mengeluh tentang kegiatan SKP yang mereka ikuti tidak relevan dengan bidangnya. Masalahnya, para penyelenggara tidak menentukan target audience dan learning objectives yang jelas. Pokoknya buat aja seminar dan webinar; siapa yang mau hadir silakan. Tak peduli bidangnya sesuai atau tidak. Akibatnya, ada dokter THT ikut webinar bedah. Atau dokter radiologi ikut webinar penyakit saraf. Sudah saling silang. Ini jelas melenceng dari tujuan SKP.

Dulu, setiap bidang spesialisasi yang buat topik. Jadi dokter-dokter terfokus pada bidang masing-masing. Sekarang one size fits all. Satu kegiatan bisa diikuti siapa saja. Tidak ada filter. Banyak pula pembicara yang tidak memiliki latar belakang relevan dengan topik yang dipresentasekan. Kenapa bisa terjadi? Karena tidak ada quality control.

Kemenkes kelabakan dengan keharusan menyediakan banyak kegiatan ilmiah. Kalau tidak, nanti SKP dokter tidak tercapai dan mereka tidak bisa praktik. Kalau demikian, pelayanan berhenti dan Kemenkes akan jadi bulan-bulanan. Makanya kegiatan pendidikan diperbanyak walau tidak jelas target audience dan learning objective-nya.

Belum lagi masalah biaya. Dulu, salah satu alasan Kemenkes mengambil alih SKP karena IDI dianggap menyelenggarakan SKP berbayar. Menkes bilang SKP harusnya gratis. Faktanya saat ini, untuk ikut kegiatan SKP yang relevan, dokter mesti membayar mahal. Bahkan kadang sampai jutaan untuk beberapa SKP saja. Bisa dibayangkan berapa pengeluaran untuk 250 SKP per lima tahun. Beban finansial dokter bertambah berat, terutama bagi dokter yang praktiknya masih dalam tahap pengembangan.

Masalah lain adalah ketidaklayakan antara durasi kegiatan dan jumlah SKP yang diberikan. Banyak kegiatan pendidikan yang durasinya lebih 5-6 jam tapi hanya diberi 1-2 SKP. Ini melenceng dari standar seharusnya, di mana 1 jam kegiatan mestinya setara 1 SKP. Ketidaklayakan ini menambah frustrasi bagi dokter. Mereka sudah habiskan waktu berjam-jam ikut kegiatan tetapi disawer dengan beberapa poin SKP saja.

Proses pengunggahan bukti SKP ke sistem online juga sangat mengecewakan. Banyak dokter mengeluh kesulitan mengunggah dokumen akibat sistem yang tidak adekuat. Banyak yang sudah unggah tapi tak terkonfirmasi. Sebagian tidak bisa mengunduh sama sekali. Sangat banyak kendala teknis. Makanya dalam group whatsaspp SKP yang jumlah pesertanya lebih 1.000 orang, setiap hari dipenuhi narasi keluhan, kekesalan dan kemarahan terhadap sistem SKP yang dijalankan Kemenkes, yang membuat hidup mereka lebih runyam. Waktu mereka terkuras mengurus SKP. Bagi mereka, mengurus SKP sebelumnya jauh lebih mudah dan praktis. Reaksi banyak dokter ini adalah sinyal tentang tidak beresnya pengelolaan SKP.

Di negara-negara maju, sistem SKP jauh lebih fleksibel dan adaptif. Perolehan SKP tidak hanya lewat kegiatan formal semacam seminar atau workshop. Bisa diperoleh dengan pembelajaran mandiri, seperti membaca jurnal, majalah kesehatan, mendengarkan podcast atau bahkan mengikuti diskusi informal. Model ini namanya reflective atau passive learning. Hal ini tidak hanya mengurangi beban administratif, tetapi juga mendorong dokter untuk terus belajar dengan cara lebih menyenangkan dan relevan.

Beda dengan sistem Indonesia yang dibuat kaku. Di Qatar, dokter hanya butuh 40 SKP pertahun dimana 20 diantaranya diperoleh lewat individual learning yang fleksibel sifatnya. Tidak memperumit hidup dokter.

Terlihat memang Kemenkes sangat tidak siap mengurus SKP ini. Dokter dibuat sibuk bukan untuk melayani pasien tetapi justru untuk mengurus SKP yang melelahkan. Jangan-jangan dimata Menkes dokter-dokter mau dijadikan Dokter Spesialis SKP (SpSKP) saja.

*** Iqbal Mochtar ***

dokterbaik

Seorang dokter yang kebetulan suka ngeblog dan berteman

Tinggalkan Balasan